Jumat, 17 Juli 2015

Mencintai Kehilangan #2




        Semburat merah di timur langit sudah terlihat, angin semilir pun mulai datang dan menerpa kerudung biru muda gadis yang sedang terdiam di atas balkon rumahnya. Terdiam, gadis itu tiba tiba menghembuskan nafas panjang, perlahan, ia menutup matanya. Mencoba lebih merasakan udara tenang pagi itu.

        Tanpa ia minta sekelebat memori yang tak ingin ia ingat menari nari di dalam pikirannya. Gadis itu langsung membuka mata, “ini tak bisa dibiarkan. Aku harus mengakhirinya” lirihnya perlahan, kemudian melangkah cepat menuju kamarnya.
****


        Bandung, 12 Juli 2015

        Carina menghentikan langkahnya sebelum membuka pintu kaca di hadapannya. Lagi – lagi ia menghembuskan nafas panjangnya, ia gugup. Sangat gugup sekarang. Tiba – tiba sebuah tangan menepuk pundaknya dengan lembut. Carina menoleh, dan tersenyum tipis.

        “Siap, kak ?” ucap gadis manis yang menepuk pundaknya beberapa detik yang lalu. Dibelakangnya ada pula seseorang yang tersenyum lebar dan mengepalkan tangannya, mencoba member semangat.

        Entah mengapa, Carina langsung tertawa. Atmosfir keraguan yang tadi ia rasakan, kini tiba – tiba sirna. “ haha, insya allah. Ehm, tapi kalian sedang apa disini ?”

        “Kita ? kita mau dukung kamu, rin. Oleh karena itu kita kesini. Biar keputusan kamu gak goyah”

        “Makasih ya, yu, fir.” Lirih Carina pelan.

        Hening beberapa saat. “hei. Malah diem disini. Kamu gak mau masuk dan mengakhiri semuanya ?” celetuk Ayu membuat Carin menganggukkan kepalanya, pasti.

        Perlahan, Carin membuka pintu, -kali ini, tanpa ragu- dan melangkahkan kakinya memasuki caffebook tersebut. Ia menggenggam erat surat beramplop putih yang sedari tadi berada di tangannya.

        “Mbak, saya bisa minta tolong ?” ucap Carin saat berdiri di hadapan kasir.
        Sang kasir tersenyum, cantik.”Iya mbak, apa yang bisa saya bantu ?”

        Carin menoleh kepada Ayu dan Fira, meminta kepastian. Yang dipandang pun, hanya tersenyum mengagguk, mengucap fighting! Dengan isyarat tangan dan mulut. Carin menundukkan kepalanya, ia harus ingat tekadnya tadi pagi. Mengakhiri segalanya.

        “I . . ini, mb . .”

        “Carin ? kamu datang ?” Suara lelaki yang sangat ia kenal membuatnya hampir tak bisa bernafas beberapa detik, jantungnya berdetak dengan kecepatan di atas normal.

        “Ini mbak, saya minta tolong, berikan kepada atasan mbak. Permisi.” Ujar Carin tergesa – gesa, tanpa mempedulikan tatapan mbak kasir –yang sedang bingung- dan lelaki yang memanggilnya –yang juga bingung- Carin rasanya ingin segera menghilang saja.

        “Carin tunggu !” teriak lelaki tersebut, membuat Carin benar – benar memberhentikan langkahnya.

        “Kau, mau menerimaku kembali, bukan ?”

        “Maaf, Fahrul. Rasanya aku harus melupakan hal ini. Dan maaf, selama ini, aku sadar, bukan kamu yang seharusnya aku tunggu. Aku persmisi. Assalamu’alaikum” lirih Carina pelan, namun masih terdengar oleh gendang telinga lelaki yang bernama Fahrul itu.

        Dengan langkah kaki yang cepat dan tanpa menunggu reaksi lelaki itu, Carina memutuskan menuju teman – temannya yang sedang menunggu di dekat pintu masuk. Ia yakin keputusannya ini sangat benar. Tapi, mengapa air matanya malah mendesak ingin keluar. Dan, mengapa, pintu keluar ini terasa sangat jauh ?

        Tes. Air matanya benar – benar keluar sekarang, Carina segera menghapusnya dengan cepat, tak ingin siapa pun tau.

        “Kak, kamu gak apa kan ?” lirih Fira tepat ketika Carin membuka pintu dan berdiri dihadapannya.

        Carin menggaguk dan tersenyum tipis. Namun, tiba – tiba air mata nya kembali mengalir, “aku melakukan hal yang benar bukan ?”

        Ayu mengangguk dan memeluk Carin. ”Sulit memang, tapi bukankah itu hal yang kau harus lakukan ?” ucap Ayu yang membuat tangis Carin semakin menjadi.

        “ Ayo, kita pergi saja dari tempat ini” Fira menuntun Carin berjalan, meninggalkan semua kenangan yang sudah beberapa tahun ini, Carin jaga dengan erat.

        Carin menutup matanya perlahan. Ia harus pergi sekarang, ia tak mau lagi tinggal di masa lalunya. Lelaki yang bernama Fahrul itu memang orang yang membuatnya jatuh cinta, tapi bukan dia yang akan membangun cinta bersamanya.
        “Rin, kamu boleh nangis sepuasnya. Tapi, nanti. Jangan nangis lagi. Allah tau yang terbaik, meski bagi kamu,itu bukan hal yang baik. Toh, ada Allah, sang pemilik cinta. Yang maha cinta, yang sebenar – benar cinta”

        Semburat Ungu di langit –langit menjadi saksi bisu pelepasan harapan Carin, perasaannya dan semua hal yang ia resahkan. Kali ini pula, ia ikhlas. Ia tau, Allah yang lebih tau.


“Takdir yang Kau beri,menguji hatiku. rasa menyesakkan kehilangan ini. Tangis yang Kau beri membuka mataku, bahwa cinta yang sebenar cinta, hanya ada satu. Karna kehilangan ini,ku mampu mendekat, kepada-MU”

****
        Fahrul terus menatap kertas putih dihadapannya, mungkin wanita itu benar, mungkin Carina benar.

          “ Assalamu’alaikm Fachrul..
          Aku sempat berfikir untuk memilihmumu menjadi pendamping hidupku. Sampi saat ini, keyakinan itu masih tumbuh dan membesar dalam hati. Tapi, adakalanya, keyakinan tak sesuai dengan kenyataan. Atau memang waktu yang menunggu untuk membuktikan masih ada impian besar yang harus aku kejar.

          Tak perlu ada ikatan apapun diantara kita. Kita tak perlu saling menunggu, kita hanya perlu belajar untuk saling melepaskan, dan menerima ketentuan-Nya.
          Carina-“

****

NB : Bagi yang belum bisa move on : Kenapa kamu masih menunggu seseorang yang boleh jadi tidak pantas untuk di tunggu ? Lepaskanlah, kita tidak akan tau, boleh jadi di belahan bumi yang lain, ada seseorang yang lebih pantas di hadapan Allah, dan lebih pantas untuk di tunggu.



Rara Syarifah. To : Avcarina.
Inspired by :

Anandito Dwis – Mencintai kehilangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

late's fira's gram