Semburat merah di timur langit sudah
terlihat, angin semilir pun mulai datang dan menerpa kerudung biru muda gadis yang
sedang terdiam di atas balkon rumahnya. Terdiam, gadis itu tiba tiba
menghembuskan nafas panjang, perlahan, ia menutup matanya. Mencoba lebih
merasakan udara tenang pagi itu.
Tanpa ia minta sekelebat memori yang tak
ingin ia ingat menari nari di dalam pikirannya. Gadis itu langsung membuka
mata, “ini tak bisa dibiarkan. Aku harus mengakhirinya” lirihnya perlahan,
kemudian melangkah cepat menuju kamarnya.
****
Bandung, 12 Juli 2015
Carina menghentikan langkahnya sebelum
membuka pintu kaca di hadapannya. Lagi – lagi ia menghembuskan nafas
panjangnya, ia gugup. Sangat gugup sekarang. Tiba – tiba sebuah tangan menepuk
pundaknya dengan lembut. Carina menoleh, dan tersenyum tipis.
“Siap, kak ?” ucap gadis manis yang
menepuk pundaknya beberapa detik yang lalu. Dibelakangnya ada pula seseorang
yang tersenyum lebar dan mengepalkan tangannya, mencoba member semangat.
Entah mengapa, Carina langsung tertawa. Atmosfir
keraguan yang tadi ia rasakan, kini tiba – tiba sirna. “ haha, insya allah. Ehm, tapi kalian sedang apa
disini ?”
“Kita ? kita mau dukung kamu, rin. Oleh
karena itu kita kesini. Biar keputusan kamu gak goyah”
“Makasih ya, yu, fir.” Lirih Carina
pelan.
Hening beberapa saat. “hei. Malah diem
disini. Kamu gak mau masuk dan mengakhiri semuanya ?” celetuk Ayu membuat Carin
menganggukkan kepalanya, pasti.
Perlahan, Carin membuka pintu, -kali ini, tanpa ragu- dan melangkahkan
kakinya memasuki caffebook tersebut. Ia
menggenggam erat surat beramplop putih yang sedari tadi berada di tangannya.
“Mbak, saya bisa minta tolong ?” ucap
Carin saat berdiri di hadapan kasir.
Sang kasir tersenyum, cantik.”Iya mbak,
apa yang bisa saya bantu ?”
Carin menoleh kepada Ayu dan Fira,
meminta kepastian. Yang dipandang pun, hanya tersenyum mengagguk, mengucap fighting! Dengan isyarat tangan dan
mulut. Carin menundukkan kepalanya, ia harus ingat tekadnya tadi pagi. Mengakhiri
segalanya.
“I . . ini, mb . .”
“Carin ? kamu datang ?” Suara lelaki
yang sangat ia kenal membuatnya hampir tak bisa bernafas beberapa detik,
jantungnya berdetak dengan kecepatan di atas normal.
“Ini mbak, saya minta tolong, berikan
kepada atasan mbak. Permisi.” Ujar Carin tergesa – gesa, tanpa mempedulikan
tatapan mbak kasir –yang sedang bingung-
dan lelaki yang memanggilnya –yang juga
bingung- Carin rasanya ingin segera menghilang saja.
“Carin tunggu !” teriak lelaki tersebut,
membuat Carin benar – benar memberhentikan langkahnya.
“Kau, mau menerimaku kembali, bukan ?”
“Maaf, Fahrul. Rasanya aku harus
melupakan hal ini. Dan maaf, selama ini, aku sadar, bukan kamu yang seharusnya
aku tunggu. Aku persmisi. Assalamu’alaikum” lirih Carina pelan, namun masih
terdengar oleh gendang telinga lelaki yang bernama Fahrul itu.
Dengan langkah kaki yang cepat dan tanpa
menunggu reaksi lelaki itu, Carina memutuskan menuju teman – temannya yang
sedang menunggu di dekat pintu masuk. Ia yakin keputusannya ini sangat benar. Tapi,
mengapa air matanya malah mendesak ingin keluar. Dan, mengapa, pintu keluar ini
terasa sangat jauh ?
Tes. Air matanya benar – benar keluar
sekarang, Carina segera menghapusnya dengan cepat, tak ingin siapa pun tau.
“Kak, kamu gak apa kan ?” lirih Fira tepat
ketika Carin membuka pintu dan berdiri dihadapannya.
Carin menggaguk dan tersenyum tipis. Namun,
tiba – tiba air mata nya kembali mengalir, “aku melakukan hal yang benar bukan
?”
Ayu mengangguk dan memeluk Carin. ”Sulit
memang, tapi bukankah itu hal yang kau harus lakukan ?” ucap Ayu yang membuat
tangis Carin semakin menjadi.
“ Ayo, kita pergi saja dari tempat ini”
Fira menuntun Carin berjalan, meninggalkan semua kenangan yang sudah beberapa
tahun ini, Carin jaga dengan erat.
Carin menutup matanya perlahan. Ia harus
pergi sekarang, ia tak mau lagi tinggal di masa lalunya. Lelaki yang bernama
Fahrul itu memang orang yang membuatnya jatuh cinta, tapi bukan dia yang akan
membangun cinta bersamanya.
“Rin, kamu boleh nangis sepuasnya. Tapi,
nanti. Jangan nangis lagi. Allah tau yang terbaik, meski bagi kamu,itu bukan
hal yang baik. Toh, ada Allah, sang pemilik cinta. Yang maha cinta, yang
sebenar – benar cinta”
Semburat Ungu di langit –langit menjadi
saksi bisu pelepasan harapan Carin, perasaannya dan semua hal yang ia resahkan.
Kali ini pula, ia ikhlas. Ia tau, Allah yang lebih tau.
“Takdir yang Kau beri,menguji hatiku. rasa menyesakkan kehilangan
ini. Tangis yang Kau beri membuka mataku, bahwa cinta yang sebenar cinta, hanya
ada satu. Karna kehilangan ini,ku mampu mendekat, kepada-MU”
****
Fahrul terus menatap kertas putih
dihadapannya, mungkin wanita itu benar, mungkin Carina benar.
“
Assalamu’alaikm Fachrul..
Aku
sempat berfikir untuk memilihmumu menjadi pendamping hidupku. Sampi saat ini,
keyakinan itu masih tumbuh dan membesar dalam hati. Tapi, adakalanya, keyakinan
tak sesuai dengan kenyataan. Atau memang waktu yang menunggu untuk membuktikan
masih ada impian besar yang harus aku kejar.
Tak
perlu ada ikatan apapun diantara kita. Kita tak perlu saling menunggu, kita
hanya perlu belajar untuk saling melepaskan, dan menerima ketentuan-Nya.
Carina-“
****
NB : Bagi yang belum bisa move on : Kenapa kamu masih menunggu seseorang yang boleh jadi tidak pantas untuk di tunggu ? Lepaskanlah, kita tidak akan tau, boleh jadi di belahan bumi yang lain, ada seseorang yang lebih pantas di hadapan Allah, dan lebih pantas untuk di tunggu.
NB : Bagi yang belum bisa move on : Kenapa kamu masih menunggu seseorang yang boleh jadi tidak pantas untuk di tunggu ? Lepaskanlah, kita tidak akan tau, boleh jadi di belahan bumi yang lain, ada seseorang yang lebih pantas di hadapan Allah, dan lebih pantas untuk di tunggu.
Rara
Syarifah. To : Avcarina.
Inspired
by :
Anandito
Dwis – Mencintai kehilangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar