Sabtu, 06 Oktober 2018

[#Menahan Takdir Series] #1 Seharusnya Terlambat


"Hanya karena aku baik dan peduli, bukan berarti kamu bisa jatuh cinta padaku."

[Keanu.Ver]

"Dan, dan bila esok, datang kembali, seperti sedia kala, dimana kau bisa bercanda dan perlahan kau pun, lupakan aku, mimpi burukmu"

Sebaris lagu lama yang selalu ter-ngiang - ngiang di kepalaku, sekarang secara mengejutkan menjadi nada panggilan di telepon genggam temanku. Ia mengisyaratkan izin untuk mengangkat telpon, aku mengangguk. Rapat kali ini tertunda lagi sekian menit. Aku menghentikan aktivitas mengetikku dan menatap laptop dengan tatapan asing. Entah mengapa aku merasa tidak mengenal diriku sekarang. Tanganku mengacak-acak rambutku, sebal. Peristiwa dua malam lalu langsung muncul sebagai highlight di pikiranku.


Tanganku mengambil hape yang terparkir cantik di samping kopi yang lama kupesan tapi tak kunjung ku minum. Nihil, banyak sekali notifikasi yang masuk, tapi tidak ada namamu diantaranya. Nihil. Aku maklum, kamu bukan lagi masuk jajaran perempuan baper lagi seperti tahun tahun sebelumnya, kamu sudah melesat jauh. Jadi kupikir, masalah yang menjadi masalahku sekarang bukanlah levelmu.

Lagi-lagi aku yang merasa tak mempunyai logika disini, padahal aku sendiri yang memutuskan 'hubungan kami'. Iya, hubungan kami yang mengaku teman tapi bersikap lebih. Awalnya aku tetaplah menjadi aku. Lelaki kaku, berpendirian, baik dan peduli terhadap semua ras dan golongan. Aku tidak peduli apa yang di pikirkan orang terhadapku selama aku masih dalam lingakaran agama. Aku bersikap normal mungkin kepada semua rekan kerja dan organisasi, hingga aku bertemu dengan kamu.

Perempuan ter-peka sepanjang sejarah aku berorganisasi. Saat itu tidak sengaja aku mengajak teman-teman yang sama-sama berasal dari Indonesia untuk membuat project yang tujuannya untuk menggalang dana bantuan untuk Palu yang saat itu terkena musibah gempa bumi dan stunami. Pelannya langkah pemerintah dan mirisnya kehidupan mereka yang beberapa video nya ku lihat di dunia maya membuat sisi kemanusiaanku terusik. Akhirnya kuputuskan untuk membantu. Meskipun kami belajar di luar indonesia tapi tentulah rakyat indonesia tetap menjadi prioritas untuk kami, apalagi dalam islam dikatakan, "barang siapa yang meringankan beban saudaranya, maka Allah akan ringankan bebannya di akhirat"

Maka pada suatu malam aku berhasil mengumpulkan beberapa puluh orang yang kemudian pada hasil akhir di putuskan bahwa aku menjadi ketua dan kamu menjadi sekretarisku. Kamu bukanlah orang asing dalam perjalanan hidupku. Aku sudah banyak mengenalmu meski tidak resmi masuk kedalam kehidupanmu. Karena aku pikir kita tidak punya hubungan manfaat apa apa dan sekali lagi, islam menuntut kita memperkecil lingkaran dengan lawan jenis, jadi aku memaksa diriku untuk tidak lagi berhubungan dengan lawan jenis tanpa adanya kepentingan.

Tapi sering ber-interaksi denganmu membuatku sedikit lupa mengenai 'prinsipku'. Tak sekali dua kali aku menelponmu menanyakan pekerjaan yang pada ujungnya berakhir dengan menceritakan aktivitasku yang melelahkan di hari itu, atau langsung menekan tanda 'panggilan video' ketika aku sedang merekap pekerjaan organosasi, bahkan kadang walau aku hanya sedang menulis. Aku juga selalu meminta pendapatmu unuk keputusan yang aku ambil, kamu adalah teman diskusi se-frekuensi yang terbaik.

Kamu tidak cantik, tapi kamu selalu terlihat cantik dengan keramahanmu, dengan kepedulianmu terhadap mereka yang tidak di pedulikan orang lain, kamu adalah wanita pertama yang membuatku berlari-lari sehabis kuliah, semenit setelah aku membaca pesan dari teman dekatmu yang mengatakan bahwa kamu menangis sesegukan, kamu yang membuat aku rela untuk pergi keliling hay-asyir hanya untuk membelikan barang yang menjadi titipanmu. Kamu, yang membuatku merasa seperti lelaki yang paling di butuhkan ketika kamu mengajakku berdiskusi, dan kebaperanmu itu, membuatku gemas. 

Perempuan memang perasa, tapi selama aku hidup dan bertemu dengan banyak orang, tidak ada yang se-lebay kamu.

Itulah mengapa aku terus memaksa kamu untuk menggunakan logika terlebih dahulu sebelum mengeluarkan perasaan. Memaksa kamu melakukan sesuatu yang tidak pernah kamu lakukan sebelumnya, melatih mentalmu, perempuan harus tangguh, perempuan harus kuat, dan kamu sedikit demi sedikit berhasil. Kamu bukan kamu yang dulu. Dan tanpa sadar aku juga, bukan aku yang dulu. Hingga akhirnya aku merasakan ada yang salah dengan kehidupanku saat ini. Aku yang merasa tidak lengkap tanpamu, dan ini salah.

Akhirnya setelah puncak acara untuk Palu yang sukses, aku berniat untuk mengakhiri semua tentangmu. Bukan tentang pertemanan kita, tapi 'kelebihan' hubungan pertemanan kita. Jujur aku memang menyukaimu, kamu manis. Tapi jika menikah, aku belum belum belum sanggup dan sangat sangat sangat tidak siap. Jadi ku putuskan untuk menekan perasaanku, membakarnya hidup-hidup. Aku memutuskan untuk berbicara bertiga denganmu, juga dengan sahabat dekatmu.

"Kenapa, Ken?"

Aku terdiam, "Aku ga bisa kayak gini terus, kay. Sesudah ini kita jangan hubungan lagi ya kecuali bener-bener penting. Aku mungkin jahat, sama dengan lelaki di luar sana yang ketika membuat kamu nyaman dan tiba-tiba pergi seenaknya. Tapi aku gatau harus bagaimana sedangkan aku belum siap" ucapku lugas.

Kamu terdiam, kulihat kamu menundukkan pandangan dan tanganmu di genggam erat sahabatmu, "kenapa tiba-tiba, ken? Aku bisa menunggu" ucapmu dua menit kemudian.

"Kayra, aku sudah cukup merasa bersalah telah membuatmu nyaman, jangan membuatku bertambah bersalah karena memintamu menungguku. Lagipula sebenarnya kita ini apa?" aku terdiam, hatiku kembali melawan tapi logikaku telah menang telak saat ini. "hanya karna aku baik dan peduli, kamu tidak bisa jatuh cinta padaku" lirihku kemudian pergi meninggalkanmu yang demi apapun kuyakini menangis tak henti. Hatimu lembut dan aku takut sekali mempermainkannya.

Dua hari sudah berlalu tanpa adanya namamu di notifikasiku, aku bahkan mengira kamu mem-blokir semua akun media sosialku karna sudah lama tidak melihatmu memasang story, padahal sebelumnya kamu cukup rajin memasang story. Tapi ke khawatiran diriku melunak melihatmu di story teman baikmu malam tadi. Kamu terlihat baik baik saja berbelanja kitab bersama teman baikmu. Apa ku bilang, kamu wanita kuat, kamu bukan kamu yang suka terbawa perasaan lagi.

Tiba-Tiba temanku datang, memasang senyum lebar tanpa merasa bersalah. "sori, nyonya besar lagi ngidam" ucapnya terkekeh. Aku mafhum, dia lelaki yang hebat, berani menikahi pujaan hatinya padahal juga sama-sama berkuliah jauh dari ortu. Tidak seperti aku. Ah, kenapa aku jadi menjelekkan diriku sendiri saat ini. 

Aku kembali menggarap project kami, dan kudengar dia bersenandung,

"Dan, bukan maksudku, bukan inginku, melukaimu, sadarkah kau disini ku pun terluka, melupakanmu, menepikanmu, maafkan aku"

Aku mendongak, ku pukul kepalanya dengan pensil. Dia mengaduh kesakitan dan aku tertawa terbahak-bahak. Berani sekali dia membuat aku baper. Tidak akan ku biarkan. "yeh, ente kalo baper jangan bawa-bawa ana dong, elaah" ucapku keras yang di sambut cekikikan yang luar biasa dari mulutnya.

Ah, lebih baik begini bukan? Memang oleh-oleh sebuah pertemuan adalah kenangan, dan aku menikmati kenangan itu dengan hati yang kokoh.

Lelaki memang seharusnya begitu. Dan maaf, aku tidak bisa menawarkan kepastian sekalipun denganmu aku ingin segera memastikan. Lagi pula hanya karena aku tidak berkata apa apa, bukan berarti kekhawatiranku terpenjara, apalagi tentangmu. Tapi tentu, bukankah ridho Allah tetap utama?




----
@fira.syarifahs





Link untuk part 2  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

late's fira's gram