Kamis, 16 April 2015

[Giveaway] Begitulah Cinta ..

“kenapa harus kamu ?
Yang mengisi hatiku, kenapa harus kamu?”



            “Kamu yang seperti angin saat berpapasan denganku, Kamu yang seperti salju saat menatapku –dingin-, kamu yang tak pernah menganggapku ada. Hei,kamu. Iya kamu. Yang sekarang sedang berada di provinsi yang berbeda denganku. Yang sekarang sedang mempersiapkan diri untuk pergi ke negri matahari terbit. Yang sekarang –juga dulu- masih menghuni hatiku yang kecil ini.


            Aku sepenuhnya masih ingat, duluuuuu, sekitar 5 tahunan yang lalu. Saat semuanya berawal. Dengan sikapku yang masih terlampau polos aku melihat seorang lelaki, berbaju biru dongker dengan motif kotak kotak. Saat aku bertanya kepada teman dekatku, siapa lelaki itu ? dan dengan mantabnya temanku menjawab, namamu. Ya. Namamu yang tak bisa ku sebutkan disini.  Biarlah.

            Tak kusangka, dari pertemuan, -ah- bukan. Bukan pertemuan. Itu hanyalah sebuah adegan dimana aku melihatmu, dan kau tidak.-  itu. Aku menyimpan rasa terhadapmu. Mungkin aneh. Tapi ini nyata. Aku tak berbohong.
            
Aku rasa, aku jatuh cinta. – ah, lebay- mungkin tepatnya jatuh cinta dalam diam. Karena, tak ada yang tau tentang rasa itu. Kecuali hanya mereka yang aku percaya. Aku menyimpannya rapat, terlampau rapat dan dalam. Sehingga, ketika ada sebuah kabar yang memberitakan bahwa lelaki itu tidak menyukaiku dan menyukai gadis yang ‘lebih’ dariku, aku jatuh. Bukan kedalam cinta lagi seperti yang sebelumnya, tapi kali ini kedalam kubangan yang berisi cairan patah hati. Aku nyaris tenggelam di dalamnya.

            Sekarang, sudah lama berlalu peristiwa ‘jatuh’ tersebut, namun entah. Cairan itu masih sepenuhnya membekas di dalam hatiku. membuat luka hati –yang memang sebelumnya belum tertutup dan dijahit secara sempurna- tidak mengering. Melelahkan.”            
                 
******

            Pagi ini, suasana kota Yogyakarta mendung. Langit terlihat sangat abu – abu. Tak jelas, akankah akan turun hujan atau hanya sekedar pertanda. Aku mengayuh sepeda miniku yang berwarna ungu dijalanan dekat Malioboro. Setelah membeli gudeg  dan memakannya langsung disana, aku berencana membeli beberapa novel di toko buku yang kebetulan milik teman dekatku di kampus.

            Setelah beberapa menit berlalu, Aku telah memarkirkan sepedaku di di depan bangunan yang terlihat agak kuno namun masih terlihat elegan. Di dalam bangunan inilah aku biasanya menghabiskan sisa – sisa uangku untuk membeli beberapa bacaan yang kusukai.

            “Hei. Sudah lama ?” sebuah suara dari belakang mengagetkanku. Aku menoleh, lalu tersenyum ketika mengetahui siapa pelaku yang mengagetkanku. Raina. Temanku, sang pemilik toko buku.

            Aku menjawab pertanyaan Raina dengan sebuah gelengan. Raina tersenyum,memperlihatkan lesung pipinya yang dalam. “Ayo, kalo mau masuk, bareng.” Tawarnya lembut.  Aku segera mengangguk, lalu mengamit lengannya erat, mengajak Raina berjalan cepat, sebelum novel yang aku incar sebulan lalu ludes tak berbekas.

            Satu setengah jam sudah aku mencari dan berkeliling dari rak satu menuju rak yang lainnya, namun nihil. Novel yang aku incar kini benar – benar habis. “Raina, novel yang aku incar udah habis.” Keluhku perlahan kepada Raina yang sedari tadi setia disampingku.

            “Ya udah, ntar kalo ada stoknya lagi, aku bakal hubungin kamu kok.” Ucap Raina. Perkataanya membuatku sedikit merasa lega. Itu artinya, masih ada kesempatan, walau tak banyak. “Eh, Ra. Kamu mau duduk disana gak ? aku mau bicara nih.” Lanjut Raina sambil menunjuk sebuah bangku di sudut ruangan yang memang tlah disediakan.

            “Oke. Ayoo”

            Sesampainya di tempat duduk yang berasal dari kayu jati itu, aku dan Raina duduk bersebelahan. Namun, bukannya langsung berbicara, Raina malah terdiam seribu bahasa. Aku menatapnya heran, namun ia malah menunduk, menyembunyikan wajah manisnya. “Na ? katanya mau ngomong ?” tanyaku pelan.

            Bukannya menjawab, Raina malah mengeluarkan suara tangisan. Aku yang bingung harus berbuat apa, hanya bisa menepuk pundaknya pelan – pelan. “Kalo kamu mau nangis, nangis aja dulu. Ceritanya biar nanti aja” ucapku lirih.

            Raina mengangguk, mengiyakan. Aku hanya bisa menatapnya miris. Aku benar – benar tak bisa melihat seseorang menangis. Sekarang saja, aku malah hampir meneteskan air mata. Tak tega rasanya. Apalagi yang menangis Raina, teman yang bisa dibilang lumayan dekat denganku.

            Entah mengapa hujan mulai turun, tak seperti biasanya yang dimulai dengan rintik – rintik, kali ini butiran air tersebut langsung berjatuhan dengan derasnya. Hujan layaknya mengerti perasaan Raina yang mungkin saat ini sedang sakit.

            “Ra, apa kamu pernah jatuh cinta secara diam - diam  ?” Tanya Raina tiba – tiba. Aku menoleh, tatapan mataku yang sedari tadi memandangi hujan kini teralihkan kepada Raina, aku tersenyum tipis dan mengangguk. Jawaban atas pertanyaannya. “Memangnya kenapa ?” tanyaku penasaran. Jarang rasanya anak yang terhitung alim seperti Raina membicarakan soal cinta.

            Alih – Alih menjawab, Raina malah menatap hujan yang masih deras dengan tatapan sendu. “Alangkah indahnya ya, kalo kita bisa hidup seperti hujan. Turun, menguap, ada lalu menghilang. Tanpa beban apa – apa.” Lirihnya.

            “Kamu kenapa ? patah hati ?” tanyaku to the point. Entah mengapa ketika melihat keadaan Raina sekarang, mengingatkanku kepada ‘aku’ yang dulu. Saat merasakan patah hati. Yang ceria tiba – tiba menjadi melankolis dan mudah menangis. Yang mengubah segalanya menjadi tak berwarna lagi dan kelabu.

            Tanpa aku sadari, air mata Raina terjatuh lagi, lalu ia menghapusnya dengan sedikit kasar. “Apakah kamu tau rasanya , ketika kita telah jatuh cinta, namun kita harus bertahan untuk tidak memilikinya ? perih, Rara. Jatuh cinta dalam diam – diam itu perih” ucap Raina tertahan. Ia mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan kembali ceritanya. “ Andai bisa ku mengulang” bisiknya pelan.

            Aku mengenggam erat tangan Raina. Mencoba memberi kekuatan. Dalam khayalku terbayang lelaki berwajah teduh itu. Lelaki yang sampai saat itu masih terkunci dalam hatiku, tidak pergi. Kisahku dan Raina hampir serupa, namun tak sama. “Na, pernah baca buku Dee yang judulnya Filosofi Kopi ? dari  buku itu, aku menyimpulkan sesuatu. Bahwa cinta itu seperti kopi. Sesempurna apapun kopi, kopi tetaplah kopi. Ia mempunyai sisi yang pahit.” Ucapku pelan.

            Raina terdiam, mungkin ia berfikir. “Rara, apa kamu pernah broken heart ? “ tanyanya hati – hati.

            “Pernah. Tapi saat itu aku berfikir kalo aku gak mau kayak gini. Aku gak mau 10 atau 20 tahun dari hari ini, aku masih terus – terusan memikirkan orang yang sama. Lelaki yang sama. Bingung antara penyesalan dan penerimaan” jelasku panjang lebar. “Lagipula, ini urusan hati. Secerdas – cerdasnya kamu, gak mungkin bisa dipakai buat mengerti hati” lanjutku.

            “Yah, kamu benar, Ra.”

            Kami berdua terdiam, tenggelam dalam lingkarang pemikiran di otak masing – masing. Tak ada yang bersua, hanya suara hujan yang mendominasi. Sejenak, suasana semakin terasa dingin, aku menggosok gosokkan kedua telapak tanganku, mencoba mencari sebuah kehangatan.

            “Ra, Kamu tau kenapa aku sangat menyukai musim gugur ?” tanya Raina, kali ini dengan sebuah senyuman, walau tipis. “tidak. Memangnya kenapa ?” ucapku.

            “Karena aku selalu berharap, perasaanku padanya akan gugur. Seperti dedaunan itu. Lalu diterbangkan angin, jauuuuhh. Sampai aku sediri tak bisa lagi melihatnya” jawab Raina lembut.

            Lagi –lagi aku menghembuskan nafas panjang, “Tapi, Na. Bagaimana jika angin itu malah membawa daun – daun yang berguguran itu lebih dekat denganmu ?”

            Raina tertegun, mungkin merasa bahwa ada sedikit hal yang benar dalam ucapanku. “Sudahlah. Cinta terbuka –yang sudah halal- ataupun cinta dalam diam, semua sama – sama menimbulkan kesan. Manis dan pahit. Lagi pula, Masih ada sang pemilik cinta, Allah kok, Na. Jadi, jika memang terlampau sakit, mengadu saja pada Allah. Allah tau yang terbaik, walau yang diberikannya tak selamanya baik” Ucapku.

            Senyuman jelas terukir dari wajah Raina, kali ini dengan tulus. “Makasih ya, Ra. Aku tau, mahasiswi psikologi kayak kamu pasti bisa diandalkan. Maaf kalo jadinya malah bikin repot kamu” Ucap Raina. Aku pun tersenyum. “Gak apa – apa. Gak bikin repot kok” jawabku.

            Hujan sejenak terhenti. Tak ada lagi butiran air yang jatuh dari langit, yang ada hanya sisa – sisa air embun yang cantik di pinggiran dedaunan dan genteng. Juga genangan air yang mengisi jalanan aspal yang berlubang. Aku melirik jam ungu di pergelangan tanganku. Jarum sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Saatnya pulang.

            “Na, aku pamit pulang dulu ya, ada deadline novel soalnya” pamitku sambil beranjak dari tempat duduk. Raina hanya bisa tersenyum “iya, makasih ya, Ra” ucapnya berterima kasih. Aku hanya mengangguk dan berjalan meninggalkannya.

            Dalam perjalanan pulang, aku termenung. Ah - Aku memiliki banyak rahasia, jadi terlalu banyak kebohongan. Apalagi tentang perasaan ini. Tapi, Bahkan jika aku seperti ini, apakah dia mengerti?

 ******
Cerpen ini ditulis untuk mengikuti program #GiveAwayJCDD @ayanurhayani dan @iindrapurwana.



Probolinggo, 16 April 2015

Semoga kau membacanya. walau hanya -sekedar-
Rara Syarifah.


4 komentar:

  1. Baguuuss ceritanya,, jadi penasaran,, siapa sih tuh cowo?
    *kepo*

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih sudah meluangkan waktu buat baca dan comment. hehe. :)

      siapa yaa..
      dia .. dia .. dia *nunjuk seseorang nan jauh disana :D

      Hapus
  2. Wah keren! Percakapannya 'berisi' banget. :) Mudah2n menang, ya.

    Daku kagum sama writerpreneur sekaligus psikolog, yang ternyata ada di Rara. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin - Amin :) makasih ya, udah comment dan baca. hehe

      menjadi psikolog -nya masih dalam proses.hehe :D

      Hapus

late's fira's gram