Selasa, 13 Maret 2018

Hari yang melelahkan

Saat ini aku berjalan sendirian, bagaimana mengatakannya ya, ini perjalanan yang panjang dan aku merasa lelah dan takut. Malam kembali datang dan semuanya gelap. Aku merasa ambigu. Rasa takutnya belum hilang, sedang aku tidak bisa mundur bahkan selangkah saja. Terseok-seok tak beraturan.
Aku menoleh, menatap semua orang yang aku sayangi, yang berada tepat di belakangku. Abi, Almarhumah Ummi, Adik-Adik, Eyang dan seluruh keluargaku yang tersenyum memandangku. Mereka melambaikan tangan. Membiarkanku 'pergi', aku pias, aku berjalan lagi, pelan-pelan.
Detik-detik berlalu, semakin banyak hal berlalu, semakin banyak keadaan yang dialami. Aku semakin dewasa, namun, mengapa definisi dewasa yang bercecer di aliran sungai kehidupanku adalah semakin susah bahagia? Seakan-seakan, semua kecemasan bermuara menjadi satu kesatuan. Sulit sekali memgukir senyum. Sulit sekali mensejajarkan posisi.
Perjalanan ini panjang sekali, dan aku terduduk hampir menyerah. Angin berhembus menerpa wajahku. Buntalan - buntalan air berjatuhan, pelan namun semakin deras. Entah mengapa, semua terasa salah, apakah aku yang terlalu jauh dengan apa yang menciptakan? Dunia yang ku jalani terlalu sesak, perasaan ini juga. Apakah aku harus berhenti? Mencari belokan lain?
"La Tahzan. La Tahzan, innallaha maa ana"
Bukan malah berhenti, aliran dari mataku malah berubah menjadi sungai. Aku sungguh tidak bisa tertawa meski hanya pura-pura. Aku tidak ingin di mengerti, aku tidak ingin menjadi seseorang yang selalu di perhatikan, hanya saja.. Mengapa semua terasa begitu berat? Semua orang mengalami hal yang sama, bahkan banyak yang lebih berat. Jadi, apa yang di hadapanku bukanlah apa-apa. Sekali lagi, aku tidak papa. Benar-benar tidak papa.
Aku ingin berhenti saja.
Atau tidak?
Berhentilah, ku mohon. Manusia-manusia itu mulai lelah dengan bayanganku yang menegak sajak terlalu. Diam-diam. Sebanyak apapun goresan yang aku dapatkan, aku tetap menjadi aku. Dunia juga masih berputar seperti biasanya, manusia juga masih banyak berkedok senyuman indah. Aku takut terlalu peduli, aku takut terlalu menapaki rasa hingga pada akhirnya aku jatuh, menggelinding sendiri. Sedang mereka tertawa melihat kebodohanku.
Sudah banyak aksara yang ku tulis. Tapi mengapa masih sama? Ternyata memang benar, aku tidak sama dengan yang lain, yang bisa dengan mudah melupakan dan mencampakkan. Aku terlalu perasa, itu tidak baik dan aku tidak tau bagaimana harus berhenti.
Aku ingin mencintai diriku sendiri. Seutuhnya.
Karena aku khawatir, akan menjadi beban, untuk orang yang kusayangi. Aku khawatir, aku yang terlalu berlebihan. Aku harus menarik pipi dan bibirku. Selalu. Setidaknya, mencoba untuk menjadi selimut yang nyaman, se melelahkan apapun itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

late's fira's gram