Jumat, 28 Agustus 2015

The Heart Want what it want.




“Save your advice, because I won’t hear. You might be alright, but I don’t care ! There’s a million reason why I should you give up”

        Tahun ke tujuh, lebih tiga hari.

        Brak !

        Aku melempar kertas – kertas yang berisi tugas kuliah hari ini. Ku rebahkan badanku di atas kasur. Sejenak, aku menghela nafas panjang. Entah mengapa, hari ini aku merasa sangat lelah. Lelah jiwa, raga, pikiran dan hati.

        Sekilas aku mengingat lagi hal tentangnya. Allah ! aku segera menggeleng keras. Sepertinya kelelahanku kali ini di peralat oleh setan untuk mengingatkanku kepadanya, kepada dia yang sebelumnya tak kupedulikan lagi.

        Dengan cepat, aku mengucap istigfar, lalu bangkit dan melangkah menuju balkon kamar. Aku membutuhkan udara segar untuk menjernihkan segelumit  fikiranku kali ini, dan menatap kota Malang dari atas mungkin sedikit banyak bisa membantu.

        Drrt ..

        Aku menoleh, sedikit malas tanganku mengambil handphone yang bergetar, panggilan dari .. Fura ? tumben sekali dia menelpon. Biasanya jika ada perlu, teman sd ku itu hanya mengirim pesan line atau pesan singkat. Aku segera mengangkat teleponnya. “Assalamu’alaikum ? tumben nelpon .. “

        “Aku ada info .. dengarkan. Ini tentang lelaki yang beberapa bulan lalu kau ceritakan kepadaku.”

        Aku menyergit, heran. “beberapa bulan yang lalu ? kapan ?”

        Fura mengeluh tertahan, “yang kau ceritakan sambil menangis – nangis itu,loh.”

        Perlahan kututup mataku, mencoba mengingat – ingat ”Ahh, itu. Iya, aku ingat”

        “Lelaki itu sekarang berada di resto yang sama denganku. Dia sedang makan, dengan seorang perempuan.”

        “Aku tidak peduli, Fura sayang.” Aku mengomentari dengan tenang dan perkataan yang mantap.

        “Apa ? T .. tapi, ba .. bagaimana bisa ?” suara Fura terdengar gagap, aku yakin, dia tidak percaya sekarang.

        “Bisa, sudah, ya.. waktuku tertalu berharga untuk mengurusi lelaki semacam dia.” Ucapku lirih.  Klik ! aku menutup sambungan telepon secara sepihak. Aku tidak peduli, benar – benar tidak peduli. Apapun yang terjadi padanya sekarang, bukan urusanku lagi. Memang aku siapa ?

        Aku tersenyum tipis. Namun aku merasa bahwa ada semacam aliran bening mengalir di kedua pipiku. Ahh, bagaimana aku bisa menangis demi seseorang yang tak sempurna itu ?

        Ini sudah tahun ke tujuh, ini bukan cinta. Ini adalah kebodohan. Bagaimana bisa aku bertahan dengan kondisi seperti ini ? Aku benar – benar harus move up sekarang,bangkit, dan merubah segala pemikiranku tentang dia.

        Perasaan ini harus terikat dengan aturan yang di buat oleh Allah. Perasaan ini bukan alasan untuk memperlemah diri. Cara paling cepat untuk melupakan adalah tidak melupakan. Aku mengenggam handphoneku erat, seharusnya aku banyak belajar dari kisah cinta khalifah Umar bin Abdul Aziz. Bagaimana ia merelakan gadis yang ia cintai,bahkan beliau sendiri yang menikahkan gadis itu dengan pemuda lain. Walau istrinya memperbolehkannya untuk menikah lagi.

        Cinta terlalu lembut, karena itulah ada logika untuk mempertegasnya. Cinta itu buta, karena itulah ada logika untuk menuntun jalannya.

        Aku tau dia tak akan kehilangan apa – apa jika aku menarik rasa ini, jadi, mengapa aku harus ragu untuk melakukan hal yang tak merugikan siapa – siapa ini ? dengan tegas aku menghapus air mataku, aku harus berubah



                Dari diriku teruntuk dirimu.  

6 komentar:


  1. Cinta terlalu lembut, karena itulah ada logika untuk mempertegasnya. Cinta itu buta, karena itulah ada logika untuk menuntun jalannya.

    Aku tau dia tak akan kehilangan apa – apa jika aku menarik rasa ini, jadi, mengapa aku harus ragu untuk melakukan hal yang tak merugikan siapa – siapa ini ? dengan tegas aku menghapus air mataku, aku harus berubah

    sudah tahun keempat, semoga aku juga bisa... :)
    jalannya sudah sempurna, kenapa harus nggak bisa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. komennya bagussss :) hihi. sama sebenarnya. semoga kita sama - sama bisa ya, fat :)

      Hapus

late's fira's gram