“Is this what love is?
Does it hurt the more you
do it?”
Selamat !
Ku ucapkan
selamat karena dirimu telah berhasil membuat hatiku melepuh. Membuat hatiku
yang sebelumnya bersih tanpa goresan apapun, kini menjadi penuh dengan perban –
perban.
Awalnya aku
tak pernah menyangka akan menyukaimu dalam jangka waktu sepanjang ini. Iya kamu
! Lelaki berwajah teduh yang jarang sekali bersua. Yang seringkali menundukkan
pandangan ketika berpapasan denganku.
Saat pertama kali melihatmu, aku
hanya berfikir, rasa ini adalah perasaan biasa. Yang bisa saja pergi seiring
waktu berlalu. Yang bisa dianggap remeh. Namun, aku sepenuhnya salah ! tanpa
sepengetahuanku, rasa itu ternyata
semakin membesar setiap harinya.
Resah sekali rasanya, apalagi jika
aku tak sengaja bertatap denganmu. Tanpa banyak bicara, aku langsung
mengalihkan pandangan, berpaling dan menjauh sebisa mungkin. Berusaha keras
menormalkan detak jantungku yang berkerja lebih cepat dari pada biasanya. Sungguh,
mengesalkan. Andai saja aku bisa menghindar dari perasaan ini. Andai.
Siang itu, tepat pertengahan
liburan semester. Aku masih ingat betul, kau yang pertama kali memulai
percakapan denganku di facebook. Jika kau tau bagaimana ekspresiku,mungkin kau
akan tertawa terbahak – bahak. Menertawakan kekonyolanku. Dan jika pula kau tau
bagaimana rasa senangnya diriku, seperti ribuan kupu – kupu berterbangan di
perutku. Senang, senang sekali.
Beberapa kali aku dan dirimu
terlibat dalam sebuah percakapan, kita bercerita seperti sudah saling mengenal
sejak lama, dan tak jarang kau membuatku tertawa dengan gurauanmu itu. Wow,
bagiku, moment itu adalah moment terlangka dalam hidup.
Aku mulai banyak menyukaimu saat
itu, tersenyum senyum saat mengingat dirimu, menulis banyak inisial namamu di
buku harianku, dan banyak lagi hal – hal yang sebelumnya aku lakukan, kini
menjadi kebiasaan bagiku. I think I really
fall in love.
Namun, semua kesenanganku itu tak
berlanjut. Hanya bertahan beberapa bulan, dan kau mulai berubah. Menjadi orang
lain. Kau tak pernah lagi memulai percakapan denganku. Kau mulai mengacuhkanku.
Kau benar – benar bukan dirimu. Kau sangat dingin.
Aku mencoba mendiamkanmu. Aku
berfikir, bahwa nanti kau akan kembali menjadi pribadi dirimu yang dahulu. Namun,
sekali lagi, dugaanku salah. Kau masih tetap seperti itu.
Hari itu, tepat tiga bulan dirimu
menngacuhkanku. Aku yang tidak tahan bergulat dengan perasaanku, bertekad akan
menanyakan hal itu kepadamu, sekaligus jujur atas rasa yang tak boleh hadir di
hidupku ini.
“Mengapa kau
tiba – tiba berubah ?”
“Berubah ?
Maksudmu ? Kurasa aku tidak berubah”
Aku menghela nafas panjang,
mungkinkah dirimu tak menyadari bahwa dirimu telah berubah ? dengan perasaan
tak menentu, aku memainkan kembali jariku untuk membumbuhkan huruf demi huruf
untuk membalas pernyataanmu.
“Kau
berubah. Tak seperti yang dulu”
“memangnya
aku yang dulu seperti apa ?”
Aku memandang nanar jawabanmu. “kuharap kau tau, bahwa aku menyukaimu”
“Maafkan
aku. Tapi aku tidak meyukaimu. Aku izin off dulu. Wassalam”
Tes. Air mataku berhasil jatuh
hanya karena sederet kalimat sederhana yang dituliskan olehmu. Sakit. Sesak. Kesal.
Menjadi satu di dalam hatiku. setelah membuatku banyak berharap padamu, kau
mematahkannya dengan sekali hentakan.
Bagus. Bagus sekali.
“Bahkan jika aku seperti ini, apakah kamu mengerti?
Aku ingin menghapus dan mengubahnya kembali
Sekali lagi aku ingin melupakan cinta di masa lalu
Yang menyesatkan dan menipuku”
Aku
menangis semalaman. Merutuki betapa bodohnya aku menyukai orang seperti dirimu.
Pemberi harapan palsu. Tapi, sekali
lagi, aku mengutuk kembali betapa bodohnya aku. Kau bahkan tak pernah berkata
bahwa kau menyukaiku, aku hanya menduga duga, - ah benar, aku yang salah. Aku mungkin
yang terlalu berharap kepada dirimu.
“Orang yang
memendam perasaan seringkali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai
semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk
menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu
ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.”
Kali ini,aku
hanya bisa berharap kepada Allah. Tuhan semesta alam. Karena dari segala hal
yang telah aku pelajari, Berharap kepada Allah tak akan pernah menuai kata
kecewa. Berbeda dengan manusia, yang kadang hanya menuai luka karena harapan
palsu.
*****
PS : Tidak semua orang yang kita beri “label” pemberi harapan
palsu benar – benar memberikan harapan palsu kepada kita dan semua orang. Cobalah
intropeksi diri, mungkin kita lah terlalu berharap dan memunafikkan semua fakta
yang ada.
Cerpen ini ditulis untuk mengikuti kompetisi #NulisFiksiPHP
dari @iindrapurwana, berhadiah 3 e-book "Rahasia Menulis
Kreatif" karya Raditya Dika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar