Kamis, 24 Oktober 2019

Ke- tidak sakit-an yang membunuh





Saya itu bisa di bilang suka menonton. Meski tidak termasuk hobi sih. Suka aja. Dan juga memang tidak semua film dan drama sih, beberapa saja. Sekiranya yang alur ceritanya tidak menye-menye dan lebay. Mayoritas yang sudah saya tonton sih genre thiller dan psikologi. Seru aja gitu, seperti menemukan pengetahuan baru dengan jalan cerita yang jarang bisa ditebak, bahasa kerennya sih plot twist.



Nah kemarin, saya lagi nonton drama korea yang berjudul Dokter John Belum sampai selesai sih, tinggal 2-3 episode lagi. Tapi saya sudah tidak kuat. Hahaha. Jadi, Ceritanya itu ada seorang dokter jenius yang bernama Cha Yohan. Dari awal episode dia sudah di deskripsikan menjadi dokter cerdas yang bahkan bisa menganalisis penyakit pasiennya tanpa menyentuh. Iya, cuma melihat saja. Keren banget pokoknya. Dokter Cha Yohan juga bisa menyembuhkan dirinya sendiri, i mean : menjahit luka sendiri tanpa obat bius!

Kemudian, di episode-episode selanjutnya terungkap bahwa Cha Yohan memiliki penyakit yang langka, yaitu Congenital insensitivity to pain (CIPA) alias tidak bisa merasakan sakit. Pertama mengenal penyakit ini saya iri, enak dong ya sesakit apapun yang dirasakan dia tidak akan pernah mengeluh, karena memang tidak terasa. Bayangkan kalo jatuh, patah tulang, lutut sobek dan sebagainya dia tidak akan merasa perih, ngilu atau sakit. Sama saja antara sehat dan sakitnya.

Namun rupanya saya keliru. Literally bener-bener keliru! Dari drama itu saya bisa paham, kalo tidak merasa sakit malah adalah penyakit yang berbahaya dan akan menjadi bom waktu. Dia tidak tau mana yang sakit, sedang di dalam tubuhnya muncul peradangan, pembengkakan atau mendarahan. Dia tidak merasa memang, tapi tubuhnya yang merasa, bisa jadi melemah tanpa disadari dan BOM! Kematian datang menyambut.

Lalu?

Hm, tiba-tiba saja saya langsung terperangah Saya merasa kondisi seperti ini mirip sekali dengan kondisi umat saat ini. Kita merasa semua baik-baik saja kan? Iya, kita masih bisa makan kok, kita masih bisa internetan dengan lancar kok, keluarga kita masih kumpul kok, kita masih bisa menjalani hidup dengan tenang. Malah masih bisa meluangkan waktu untuk menggalaukan diri.

Tapi, kalo kita periksa bersama.. sebenarnya kita itu sedang sakit parah. Umat sedang tidak baik baik saja. Periksa ke sisi timur, maka kita temukan anak-anak palestina yang sudah tidak layak dikatakan anak-anak karena beban yang mereka tanggung lebih berat dari usia mereka. Lihat ke sisi barat, ada beberapa yang tidak bisa menunjukkan keislaman mereka bahkan ketika gaung HAM berbunyi dimana-mana. Tak jauh dari kita, ada umat islam yang bernama Rohingya, yang sayangnya dengan label-nya tak mampu menunaikan hak-haknya. Bahkan terusir.

Lalu lihat kedalam diri kita sendiri, sering sekali di adu domba. Beda ushlub, Kafir! Beda madzhab, lawan! Beda ustadz, jauhi! Bahkan berbeda pendapat mengenai cadar dan membaca doa qunut saja dipermasalahkan habis-habisan. Lalu, bagaimana kita bersatu? Kita ini sama-sama islam. Berjuang untuk melanjutkan kehidupan islam agar umat muslim terjaga muru'ah dan hak-hak nya. Serta bisa tenang dalam perjalanan menuju ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah.

Kita sedang sakit, tapi kita tidak bisa merasakan sakit. Apakah kita terlalu apatis?

Tau tidak bagaimana dokter Cha Yohan bertahan melawan sakitnya hingga bisa sukses menjadi dokter kepala? Dengan cara memeriksa kondisi dan suhu tubuhnya setiap hari. Iya, benar-benar setiap hari. Jadi ketika dia menemukan kejanggalan sedikit saja, maka dia tau bahwa ada yang salah dengan tubuhnya.

Dan, kenapa tidak kita contoh saja?

Selalu memeriksa kondisi kita, kondisi umat muslim, umat yang kita cintai setiap hari. Mengetahui mana yang salah dan solusi apa yang tepat untuk meng-akhiri penyakit ini. Jangan stuck! Belajar menganalisa, dengan obat apa kira-kira penyakit ini bisa berakhir. Hingga di ujung pencarian nanti kita sadari, bahwa hanya islam saja yang mampu mengobati dan menjaga umat islam tetap "sehat"

Terus belajar, jangan sampai salah langkah sebagai pemuda-pemudi muslim yang masa muda-nya menjadi tonggak peradaban.





Kairo, 24 Oktober 2019 10:45 | @fira.syarifahs
-Kulliyatul Banat, depan Syu'un-

4 komentar:

  1. Nice.. Mbakku.. 😃
    Membandingkan antara film dgn kondisi ummat.. 😁. Btw, jrang lho ada org yg mau kyk gitu.. 😅
    Jd,nonton berfaedah ni..😊
    Lain kali buat challenge kyk gini bisa kalik.. 😁
    Aku apresiasi aja deh apapun yg terbaik buat ummat krn Allah dr mbak.. 😉

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jazakillah iffah. Amiin ya rabb. Biar nonton juga ga sekedar nonton, kidu ada sisi politisnya wkwwk.
      Bisa di tampung tuh sarannya!
      Sekali lagi terima kasih sudah membaca :)

      Hapus

late's fira's gram