Saya menulis tulisan ini di tengah
malam, saat saya tidak sengaja terbangun. Sejujurnya saya tidak tau, saya hanya
kesal saja sekarang ini. ceritanya sehabis dari kamar mandi tadi saya ingin
sholat hajat, kemudian datanglah dua teman saya yang belum tidur dari luar. Satu
orang memang teman kamar saya, satu lagi bukan. Saya hanya tau nama dia dan
tidak pernah berbincang-bincang. Saat itu, Dia ingin minum, lalu ributlah
mencari gelas, dan tiba-tiba teman sekamar saya memberikan gelas tupperware
ungu saya, saya sedikit bercanda “hei, punya siapa itu, ijin dulu” dia hanya
melihat saya dan melanjutkan minum, “ga di peduliin loh, ijin dulu” ucap saya
lagi, kemudian teman saya bilang “owalah, pinjem ya fira” sedang dia hanya
diam, kemudian bilang “emang ini punya siapa?” kemudia saya jawab dengan cepat.
“punya akulah” kemudian dia mengucapkan kalimat yang membuat saya entah
mengapa, jengkel setengah mati “kan prinsipnya, punya kamu, punya kita” ucapnya
santai, kemudian saya langsung timpali, “iya, kecuali aku”
Entah mengapa, dari dulu saya tidak
bisa bertoleransi dengan kata “kepemilikan bersama” karena pada akhirnya barang
yang di miliki akan rusak dengan tenggat waktu yang singkat, sementara tidak
akan ada manusia yang mengaku. Dan itu berlaku hingga saat ini. pesantren
memang bukan hal yang baru bagi saya, tapi hidup di dalamnya adalah “sesuatu”
bagi saya yang sebenarnya sangat introvert dan individualisme ini. saya memang masih
sering berkumpul dengan teman-teman, haha-hihi bersama-sama tapi, jika
introvert saya sedang kambuh, saya merasa terlalu berlebihan berinteraksi
dengan seseorang dan saya bisa saja tidak berbicara, (kecuali dengan siapa yang dekat sekali dengan saya) kemudian
berakhir dengan berdiam diri di pojokan kamar tanpa menganggap mereka ada. Dan memang
begitulah cara seorang introvert hidup.
Kembali ke kehidupan pesantren dan
teman saya tadi, saya sangat tidak suka dengan tradisi “ghosob” atau meminjam
tanpa ijin. Memang bukan hal yang asing lagi bagi teman-teman yang sudah pernah
di pesantren *tidak semua pesantren) tapi bagi saya itu adalah hal yang baru
dan bertentangan dengan prinsip saya selama ini. saya tidak mau ghosob dan
tidak mau di ghosob. Saya pernah uring-uringan dan berkeliling satu mumtaza
ketika habis sholat atau setelah berkunjung ke kamar lain saya tidak menemukan
sandal saya di tempatnya. saya sering sekali mengomeli teman saya yang
kedapatan memakai sandal saya, bahkan saya pernah mengomeli anak baru yang
memakai sandal teman saya, padahal saya tidak kenal dia siapa. Hanya, saya
kesal saja. Dalihnya “saya ghosob karena saya di ghosob” what a stupid reason!
Jadi, sama saja kamu melakukan
kejahatan di balas dengan kejahatan, apa bedanya kamu sama dia? Padahal ketika
di hisab nanti, ga bakal ada nih alasan kayak gitu. Karena bukan kita yang
ngomong, tapi kaki kita. Dan kamu mau naikin timbangan dosa kamu Cuma gara-gara
hal sepele kayak gitu?
Mungkin bagi sebagian orang, ini
adalah masalah sepele. Tapi tidak bagi saya dan beberapa orang yang tidak ingin
barang pribadinya di ganggu. Prinsip “punya kamu punya kita” adalah sesuatu
yang fatal menurut saya. Bukankah segalanya di mulai dari hal yang kecil? Percuma
saya kita hafal al-qur’an misalnya, tapi masih saja ghosob. Percuma kita hafal
ribuan hadist, shiroh dan berbicara was-wes-wos masalah agama, tapi tidak
menjaga kehalalan barang yang kita pakai. Padahal kita semua tau, harta kita
hanya tiga, apa yang kita makan, apa yang kita sedekahkan dan apa yang kita
pakai. Jika salah satunya tidak berkah, ya buat apa?
Mungkin memang ada beberapa orang yang
mengikhlaskan, tapi saya tidak. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa orang
seperti saya ini banyak jumlahnya. Ini bukan
masalah barang, ini masalah karakter. Entah mengapa, saya selalu berpendapat
bahwa akhlaq adalah nomer satu, kemudian beriringan dengan ilmu. Dan saya,
selalu respect dengan seseorang, yang rela kakinya tidak memakai alas kaki dan
berpanas – panas an untuk ke mesjid demi tidak menghosob sesuatu yang bukan
miliknya.
Ya, begitu saja sih.
Intinya buat pelajaran saja dan
mengeluarkan uneg-uneg. Karna setiap individu memiliki hak untuk mengajukan
aspirasinya bukan? Semoga kita semua selalu menjaga diri dari hal-hal yang
tidak baik. Dan saya menulis ini bukan karena saya merasa saya adalah manusia
yang paling baik sedunia. Tentu saja tidak. Saya hanya merasa tidak nyaman. Saya
juga masih belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik dari pada sebelumnya. Dan
jelas saya tidak mau berperoses sendiri. Tentu teman bertumbuh di butuhkan.
Kesimpulannya, faa in’laam tan tastahim, faasna’ masyiktaa , jika kamu tidak malu,
maka lakukanlah sesukamu.
Semoga Allah
selalu meridhoi segala kebaikan yang kita lakukan. Amiin.
Bjn, 14-04-2018
Aku selalu suka tulisan kek gini :D
BalasHapusHaha tulisan di kala sebal
Hapus