(sudut pandang dari lelaki ‘penemu kertas’)
Kita memang pernah saling menyukai. Namun perasaan
tersebut bukan lantas membuat kita merasa saling memiliki bukan ?
Aku mendesah
tertahan, kedua pandanganku tak bisa berhenti memperhatikan tetesan air hujan
yang jatuh ke tanah. Lihatlah, bagaimana bisa langit begitu ikhlas melepaskan
ribuan titik air hujan ? sekali lagi aku mendesah, tangan kananku mengambil
kopi hitam yang entah mengapa menjadi minuman favoritku. Mungkin semua ini
karena gadis itu.
Gadis cantik
yang aku kenal sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saat itu aku
sama sekali tak menyangka jika ia mempunyai perasaan lebih terhadapku.
Bagaimana mungkin, ia pintar dan sempurna, sedang aku ? butuh beberapa waktu
untukku berfikir dan membalas perasaannya.
Dahulu,
seperti remaja yang lain, aku dan dia seringkali membuat kesalahan. Berkirim
surat dan kado, membuat romansa cinta kami sendiri. Akan tetapi dewasa kini,
kita sama – sama sadar bahwa Allah, sang pencipta kami tak menghendaki kami
berlaku demikian. Akhirnya, aku mulai menjauh. Memintanya untuk membuang dan
membakar apa – apa yang dahulu pernah kuberikan padanya.
Aku
melakukan itu bukan untuk melupakannya. Tapi untuk meluruskan jalanku dan dia
di hadapanNya. Rasa ini tetap ada. Tidak menghilang, bahkan menambah. Aku hanya
memendamnya, menunggu saat – saat yang tepat, pepatah mengatakan bahwa semua
akan indah pada waktunya, bukan ? dan aku percaya akan pepatah tersebut.
Akan tetapi,
kenyataan memang tak selalu berbanding lurus dengan khayalan. Aku sama sekali
tak menyangka bahwa kau berubah. Bukan sifatmu, namun hatimu. Kau menaruh
hatimu kepada lelaki lain, yang dilihat dari segi manapun, mempunyai banyak
kelebihan di banding diriku.
Pluk.
Suara sebuah
benda tumpul yang ternyata berupa gumpalan kertas jatuh tepat di mulut
sepatuku. Membuat seluruh pemikiranku tentang gadis itu sempurna menghilang.
Aku mengambil kertas itu dan perlahan membukanya. Deretan abjad yang dirangkai
begitu indah, perlahan aku mengorbitkan seluruh pandanganku, mencari sang
pemilik kertas.
Pandanganku
terpaku kepada seorang gadis berkerudung hijau yang bergegas ingin pulang.
Entah mengapa, feelingku mengatakan bahwa ia lah empunya. Perlahan aku
mendekatinya.
“ini
milikmu, bukan ?”
Gadis itu
menoleh, terdiam seperkian detik ketika menatap diriku. Lalu dengan gugup ia
mengangguk dan mengambil kertas yang berada di tangaku. “Terima kasih” ucapnya
lirih sebelum ia berjalan cepat meninggalkanku.
Aku hanya bisa
terheran – heran melihatnya. Namun, entah mengapa aku bersyukur. Bagaimana
tidak, dari deretan kata yang ia tuliskan aku sedikit menemukan jawaban atas
pertanyaanku. Kenapa hujan begitu ikhlas melepaskan tetesan air hujan ? karena
bumi lebih membutuhkan hujan dari pada sang langit. Lalu, kenapa aku harus
begitu kecewa saat aku kehilangan gadis itu ? sedang mungkin saja ada seseorang
yang lebih pantas untukku ?
Allah, Sang
maha cinta. Mudah saja bagiNya untuk memutar hati manusia. Dan aku percaya itu.
Apakah langit benar2 tidak mebutuh kan hujan ? Hingga ia rela sekali melepas kan nya ?
BalasHapusHanya karna langit merasa bumi lbh membutuh kan ?
anda benar benar sedang tidak baik ya..
Hapusjadi banyak bertanya.
tidak apa apa. akan berakhir.
haha..
kadangkala cinta bisa melakukan hal yang tidak bisa dicerna dengan baik oleh akal :')
Hapushmm... bagaimanalah ini? akupun lelah dengan rasa rasa. lebih baik berpikir.
BalasHapusBarangkali ada cerita lainnya di Autumn maupun Summer Stories? Berbeda musim berbeda makna kiasan menyangkut istilah cinta? :)
BalasHapus