“kenapa
harus kamu ?
Yang
mengisi hatiku, kenapa harus kamu?”
“Kamu yang
seperti angin saat berpapasan denganku, Kamu yang seperti salju saat menatapku
–dingin-, kamu yang tak pernah menganggapku ada. Hei,kamu. Iya kamu. Yang
sekarang sedang berada di provinsi yang berbeda denganku. Yang sekarang sedang
mempersiapkan diri untuk pergi ke negri matahari terbit. Yang sekarang –juga
dulu- masih menghuni hatiku yang kecil ini.
Aku
sepenuhnya masih ingat, duluuuuu, sekitar 5 tahunan yang lalu. Saat semuanya berawal.
Dengan sikapku yang masih terlampau polos aku melihat seorang lelaki, berbaju
biru dongker dengan motif kotak kotak. Saat aku bertanya kepada teman dekatku,
siapa lelaki itu ? dan dengan mantabnya temanku menjawab, namamu. Ya. Namamu
yang tak bisa ku sebutkan disini.
Biarlah.
Tak
kusangka, dari pertemuan, -ah- bukan. Bukan pertemuan. Itu hanyalah sebuah
adegan dimana aku melihatmu, dan kau tidak.-
itu. Aku menyimpan rasa terhadapmu. Mungkin aneh. Tapi ini nyata. Aku
tak berbohong.
Aku rasa, aku
jatuh cinta. – ah, lebay- mungkin tepatnya jatuh
cinta dalam diam. Karena, tak ada yang tau tentang rasa itu. Kecuali hanya
mereka yang aku percaya. Aku menyimpannya rapat, terlampau rapat dan dalam.
Sehingga, ketika ada sebuah kabar yang memberitakan bahwa lelaki itu tidak
menyukaiku dan menyukai gadis yang ‘lebih’ dariku, aku jatuh. Bukan kedalam
cinta lagi seperti yang sebelumnya, tapi kali ini kedalam kubangan yang berisi
cairan patah hati. Aku nyaris tenggelam di dalamnya.
Sekarang,
sudah lama berlalu peristiwa ‘jatuh’ tersebut, namun entah. Cairan itu masih
sepenuhnya membekas di dalam hatiku. membuat luka hati –yang memang sebelumnya
belum tertutup dan dijahit secara sempurna- tidak mengering. Melelahkan.”
******
Pagi ini,
suasana kota Yogyakarta mendung. Langit terlihat sangat abu – abu. Tak jelas,
akankah akan turun hujan atau hanya sekedar pertanda. Aku mengayuh sepeda
miniku yang berwarna ungu dijalanan dekat Malioboro. Setelah membeli gudeg dan memakannya langsung disana, aku berencana
membeli beberapa novel di toko buku yang kebetulan milik teman dekatku di
kampus.
Setelah
beberapa menit berlalu, Aku telah memarkirkan sepedaku di di depan bangunan
yang terlihat agak kuno namun masih terlihat elegan. Di dalam bangunan inilah
aku biasanya menghabiskan sisa – sisa uangku untuk membeli beberapa bacaan yang
kusukai.
“Hei. Sudah
lama ?” sebuah suara dari belakang mengagetkanku. Aku menoleh, lalu tersenyum
ketika mengetahui siapa pelaku yang mengagetkanku. Raina. Temanku, sang pemilik
toko buku.
Aku menjawab
pertanyaan Raina dengan sebuah gelengan. Raina tersenyum,memperlihatkan lesung
pipinya yang dalam. “Ayo, kalo mau masuk, bareng.” Tawarnya lembut. Aku segera mengangguk, lalu mengamit
lengannya erat, mengajak Raina berjalan cepat, sebelum novel yang aku incar
sebulan lalu ludes tak berbekas.
Satu
setengah jam sudah aku mencari dan berkeliling dari rak satu menuju rak yang
lainnya, namun nihil. Novel yang aku incar kini benar – benar habis. “Raina,
novel yang aku incar udah habis.” Keluhku perlahan kepada Raina yang sedari
tadi setia disampingku.
“Ya udah,
ntar kalo ada stoknya lagi, aku bakal hubungin kamu kok.” Ucap Raina.
Perkataanya membuatku sedikit merasa lega. Itu artinya, masih ada kesempatan,
walau tak banyak. “Eh, Ra. Kamu mau duduk disana gak ? aku mau bicara nih.”
Lanjut Raina sambil menunjuk sebuah bangku di sudut ruangan yang memang tlah
disediakan.
“Oke. Ayoo”
Sesampainya
di tempat duduk yang berasal dari kayu jati itu, aku dan Raina duduk
bersebelahan. Namun, bukannya langsung berbicara, Raina malah terdiam seribu
bahasa. Aku menatapnya heran, namun ia malah menunduk, menyembunyikan wajah
manisnya. “Na ? katanya mau ngomong ?” tanyaku pelan.
Bukannya
menjawab, Raina malah mengeluarkan suara tangisan. Aku yang bingung harus berbuat
apa, hanya bisa menepuk pundaknya pelan – pelan. “Kalo kamu mau nangis, nangis
aja dulu. Ceritanya biar nanti aja” ucapku lirih.
Raina
mengangguk, mengiyakan. Aku hanya bisa menatapnya miris. Aku benar – benar tak
bisa melihat seseorang menangis. Sekarang saja, aku malah hampir meneteskan air
mata. Tak tega rasanya. Apalagi yang menangis Raina, teman yang bisa dibilang
lumayan dekat denganku.
Entah
mengapa hujan mulai turun, tak seperti biasanya yang dimulai dengan rintik –
rintik, kali ini butiran air tersebut langsung berjatuhan dengan derasnya. Hujan
layaknya mengerti perasaan Raina yang mungkin saat ini sedang sakit.
“Ra, apa
kamu pernah jatuh cinta secara diam -
diam ?” Tanya Raina tiba – tiba. Aku
menoleh, tatapan mataku yang sedari tadi memandangi hujan kini teralihkan
kepada Raina, aku tersenyum tipis dan mengangguk. Jawaban atas pertanyaannya.
“Memangnya kenapa ?” tanyaku penasaran. Jarang rasanya anak yang terhitung alim
seperti Raina membicarakan soal cinta.
Alih – Alih
menjawab, Raina malah menatap hujan yang masih deras dengan tatapan sendu.
“Alangkah indahnya ya, kalo kita bisa hidup seperti hujan. Turun, menguap, ada
lalu menghilang. Tanpa beban apa – apa.” Lirihnya.
“Kamu kenapa
? patah hati ?” tanyaku to the point. Entah
mengapa ketika melihat keadaan Raina sekarang, mengingatkanku kepada ‘aku’ yang
dulu. Saat merasakan patah hati. Yang ceria tiba – tiba menjadi melankolis dan
mudah menangis. Yang mengubah segalanya menjadi tak berwarna lagi dan kelabu.
Tanpa aku
sadari, air mata Raina terjatuh lagi, lalu ia menghapusnya dengan sedikit
kasar. “Apakah kamu tau rasanya , ketika kita telah jatuh cinta, namun kita
harus bertahan untuk tidak memilikinya ? perih, Rara. Jatuh cinta dalam diam – diam itu perih” ucap Raina tertahan. Ia
mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan kembali ceritanya. “ Andai bisa ku
mengulang” bisiknya pelan.
Aku
mengenggam erat tangan Raina. Mencoba memberi kekuatan. Dalam khayalku
terbayang lelaki berwajah teduh itu. Lelaki yang sampai saat itu masih terkunci
dalam hatiku, tidak pergi. Kisahku dan Raina hampir serupa, namun tak sama.
“Na, pernah baca buku Dee yang judulnya Filosofi Kopi ? dari buku itu, aku menyimpulkan sesuatu. Bahwa cinta
itu seperti kopi. Sesempurna apapun kopi, kopi tetaplah kopi. Ia mempunyai sisi
yang pahit.” Ucapku pelan.
Raina
terdiam, mungkin ia berfikir. “Rara, apa kamu pernah broken heart ? “ tanyanya hati – hati.
“Pernah.
Tapi saat itu aku berfikir kalo aku gak mau kayak gini. Aku gak mau 10 atau 20
tahun dari hari ini, aku masih terus – terusan memikirkan orang yang sama.
Lelaki yang sama. Bingung antara penyesalan dan penerimaan” jelasku panjang
lebar. “Lagipula, ini urusan hati. Secerdas – cerdasnya kamu, gak mungkin bisa
dipakai buat mengerti hati” lanjutku.
“Yah, kamu
benar, Ra.”
Kami berdua
terdiam, tenggelam dalam lingkarang pemikiran di otak masing – masing. Tak ada
yang bersua, hanya suara hujan yang mendominasi. Sejenak, suasana semakin
terasa dingin, aku menggosok gosokkan kedua telapak tanganku, mencoba mencari
sebuah kehangatan.
“Ra, Kamu
tau kenapa aku sangat menyukai musim gugur ?” tanya Raina, kali ini dengan
sebuah senyuman, walau tipis. “tidak. Memangnya kenapa ?” ucapku.
“Karena aku
selalu berharap, perasaanku padanya akan gugur. Seperti dedaunan itu. Lalu diterbangkan
angin, jauuuuhh. Sampai aku sediri tak bisa lagi melihatnya” jawab Raina
lembut.
Lagi –lagi
aku menghembuskan nafas panjang, “Tapi, Na. Bagaimana jika angin itu malah
membawa daun – daun yang berguguran itu lebih dekat denganmu ?”
Raina tertegun,
mungkin merasa bahwa ada sedikit hal yang benar dalam ucapanku. “Sudahlah.
Cinta terbuka –yang sudah halal- ataupun cinta
dalam diam, semua sama – sama menimbulkan kesan. Manis dan pahit. Lagi
pula, Masih ada sang pemilik cinta, Allah kok, Na. Jadi, jika memang terlampau
sakit, mengadu saja pada Allah. Allah tau yang terbaik, walau yang diberikannya
tak selamanya baik” Ucapku.
Senyuman
jelas terukir dari wajah Raina, kali ini dengan tulus. “Makasih ya, Ra. Aku
tau, mahasiswi psikologi kayak kamu pasti bisa diandalkan. Maaf kalo jadinya
malah bikin repot kamu” Ucap Raina. Aku pun tersenyum. “Gak apa – apa. Gak
bikin repot kok” jawabku.
Hujan
sejenak terhenti. Tak ada lagi butiran air yang jatuh dari langit, yang ada
hanya sisa – sisa air embun yang cantik di pinggiran dedaunan dan genteng. Juga
genangan air yang mengisi jalanan aspal yang berlubang. Aku melirik jam ungu di
pergelangan tanganku. Jarum sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Saatnya pulang.
“Na, aku
pamit pulang dulu ya, ada deadline novel soalnya” pamitku sambil beranjak dari
tempat duduk. Raina hanya bisa tersenyum “iya, makasih ya, Ra” ucapnya
berterima kasih. Aku hanya mengangguk dan berjalan meninggalkannya.
Dalam
perjalanan pulang, aku termenung. Ah - Aku memiliki banyak rahasia, jadi terlalu
banyak kebohongan. Apalagi tentang perasaan ini. Tapi, Bahkan jika aku seperti
ini, apakah dia mengerti?
******
Cerpen ini ditulis untuk mengikuti program #GiveAwayJCDD @ayanurhayani dan @iindrapurwana.
Probolinggo, 16 April 2015
Semoga kau membacanya. walau hanya -sekedar-
Rara Syarifah.
Baguuuss ceritanya,, jadi penasaran,, siapa sih tuh cowo?
BalasHapus*kepo*
terima kasih sudah meluangkan waktu buat baca dan comment. hehe. :)
Hapussiapa yaa..
dia .. dia .. dia *nunjuk seseorang nan jauh disana :D
Wah keren! Percakapannya 'berisi' banget. :) Mudah2n menang, ya.
BalasHapusDaku kagum sama writerpreneur sekaligus psikolog, yang ternyata ada di Rara. :)
Amin - Amin :) makasih ya, udah comment dan baca. hehe
Hapusmenjadi psikolog -nya masih dalam proses.hehe :D