Jumat, 13 April 2018

Opini-nya Fira : Punya kamu, punya kita?

          Saya menulis tulisan ini di tengah malam, saat saya tidak sengaja terbangun. Sejujurnya saya tidak tau, saya hanya kesal saja sekarang ini. ceritanya sehabis dari kamar mandi tadi saya ingin sholat hajat, kemudian datanglah dua teman saya yang belum tidur dari luar. Satu orang memang teman kamar saya, satu lagi bukan. Saya hanya tau nama dia dan tidak pernah berbincang-bincang. Saat itu, Dia ingin minum, lalu ributlah mencari gelas, dan tiba-tiba teman sekamar saya memberikan gelas tupperware ungu saya, saya sedikit bercanda “hei, punya siapa itu, ijin dulu” dia hanya melihat saya dan melanjutkan minum, “ga di peduliin loh, ijin dulu” ucap saya lagi, kemudian teman saya bilang “owalah, pinjem ya fira” sedang dia hanya diam, kemudian bilang “emang ini punya siapa?” kemudia saya jawab dengan cepat. “punya akulah” kemudian dia mengucapkan kalimat yang membuat saya entah mengapa, jengkel setengah mati “kan prinsipnya, punya kamu, punya kita” ucapnya santai, kemudian saya langsung timpali, “iya, kecuali aku”


          Entah mengapa, dari dulu saya tidak bisa bertoleransi dengan kata “kepemilikan bersama” karena pada akhirnya barang yang di miliki akan rusak dengan tenggat waktu yang singkat, sementara tidak akan ada manusia yang mengaku. Dan itu berlaku hingga saat ini. pesantren memang bukan hal yang baru bagi saya, tapi hidup di dalamnya adalah “sesuatu” bagi saya yang sebenarnya sangat introvert dan individualisme ini. saya memang masih sering berkumpul dengan teman-teman, haha-hihi bersama-sama tapi, jika introvert saya sedang kambuh, saya merasa terlalu berlebihan berinteraksi dengan seseorang dan saya bisa saja tidak berbicara, (kecuali dengan siapa yang dekat sekali dengan saya) kemudian berakhir dengan berdiam diri di pojokan kamar tanpa menganggap mereka ada. Dan memang begitulah cara seorang introvert hidup.

          Kembali ke kehidupan pesantren dan teman saya tadi, saya sangat tidak suka dengan tradisi “ghosob” atau meminjam tanpa ijin. Memang bukan hal yang asing lagi bagi teman-teman yang sudah pernah di pesantren *tidak semua pesantren) tapi bagi saya itu adalah hal yang baru dan bertentangan dengan prinsip saya selama ini. saya tidak mau ghosob dan tidak mau di ghosob. Saya pernah uring-uringan dan berkeliling satu mumtaza ketika habis sholat atau setelah berkunjung ke kamar lain saya tidak menemukan sandal saya di tempatnya. saya sering sekali mengomeli teman saya yang kedapatan memakai sandal saya, bahkan saya pernah mengomeli anak baru yang memakai sandal teman saya, padahal saya tidak kenal dia siapa. Hanya, saya kesal saja. Dalihnya “saya ghosob karena saya di ghosob” what a stupid reason!

          Jadi, sama saja kamu melakukan kejahatan di balas dengan kejahatan, apa bedanya kamu sama dia? Padahal ketika di hisab nanti, ga bakal ada nih alasan kayak gitu. Karena bukan kita yang ngomong, tapi kaki kita. Dan kamu mau naikin timbangan dosa kamu Cuma gara-gara hal sepele kayak gitu?

          Mungkin bagi sebagian orang, ini adalah masalah sepele. Tapi tidak bagi saya dan beberapa orang yang tidak ingin barang pribadinya di ganggu. Prinsip “punya kamu punya kita” adalah sesuatu yang fatal menurut saya. Bukankah segalanya di mulai dari hal yang kecil? Percuma saya kita hafal al-qur’an misalnya, tapi masih saja ghosob. Percuma kita hafal ribuan hadist, shiroh dan berbicara was-wes-wos masalah agama, tapi tidak menjaga kehalalan barang yang kita pakai. Padahal kita semua tau, harta kita hanya tiga, apa yang kita makan, apa yang kita sedekahkan dan apa yang kita pakai. Jika salah satunya tidak berkah, ya buat apa?

          Mungkin memang ada beberapa orang yang mengikhlaskan, tapi saya tidak. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa orang seperti saya ini banyak jumlahnya.  Ini bukan masalah barang, ini masalah karakter. Entah mengapa, saya selalu berpendapat bahwa akhlaq adalah nomer satu, kemudian beriringan dengan ilmu. Dan saya, selalu respect dengan seseorang, yang rela kakinya tidak memakai alas kaki dan berpanas – panas an untuk ke mesjid demi tidak menghosob sesuatu yang bukan miliknya.

          Ya, begitu saja sih.

          Intinya buat pelajaran saja dan mengeluarkan uneg-uneg. Karna setiap individu memiliki hak untuk mengajukan aspirasinya bukan? Semoga kita semua selalu menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik. Dan saya menulis ini bukan karena saya merasa saya adalah manusia yang paling baik sedunia. Tentu saja tidak. Saya hanya merasa tidak nyaman. Saya juga masih belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik dari pada sebelumnya. Dan jelas saya tidak mau berperoses sendiri. Tentu teman bertumbuh di butuhkan.

          Kesimpulannya, faa in’laam tan tastahim, faasna’ masyiktaa , jika kamu tidak malu, maka lakukanlah sesukamu.

 Semoga Allah selalu meridhoi segala kebaikan yang kita lakukan. Amiin.









Bjn, 14-04-2018

2 komentar:

late's fira's gram